Wednesday, January 13, 2010

Menjelang serbuan barang Tiongkok

Tulisan para ekonom tentang afta selalu mengikuti alur klasik, pertama menyederhanakan konsep liberalisasi dalam pengertian yang mudah di cerna awam seperti saya, lalu menekankan betapa perjanjian dagang itu sudah jadi keharusan sejarah, dan dampak pada beberapa sektor yg lemah daya saing sebagai konsekuensi logis.

Hati saya agak kurang nyaman dengan model rasionalisasi AFTA demikian, agaknya ada sesuatu yang kurang. Saya belumlah rela melihat kelanjutan PHK masal buruh tekstil, sekaligus banjirnya mainan anak murah yang jelek kualitasnya, atau tulisan di permen kacang kegemaran saya yang mendadak menandakan bahwa cemilan itu sudah dibuat di gwangdong.

Pemerintah mengakui bahwa kita lolos lubang jarum krisis bukan karena kita tangguh dan jagoan, namun semata karena kita sudah tidak mengandalkan ekspor. Hal ini akan terlihat pasca krisis ketika malaysia, thailand dan singapura lebih cepat ayunan kepulihannya karena dengan sigap industrinya menjadi stereoid kebangkitan mereka.

Selagi Bang Faisal menggarisbawahi kata deindustrialisasi sebagai momok performansi ekonomi 2010, kita menyaksikan lolongan ketaksiapan beberapa sektor menghadapi pasar bebas asean cina itu.

agak gemas membaca peristiwa ini

No comments:

Post a Comment