Saturday, April 3, 2010

Simak

Agak terkejut membaca statement salah seorang pengelola perpustakaan nasional, konon Indonesia No.1 pengakses terbesar situs book.google.com se asia pasifik, unik karena biasanya berita yang muncul banyak menyitir betapa besarnya jumlah pengakses situs pornografi di negri ini. Pertanyaan yang muncul, bagaimana sesungguhnya pola media consumption orang Indonesia dilihat dari perspektif learning style? dan bagaimana pola interaksi dengan media itu mempengaruhi perilaku belajar, perkembangan pemikiran, bahkan aktualisasinya ?

Salah satu learning model yang sering dikutip khalayak adalah Flemming VARK models, yang juga dikenal sebagai (early) Neuro Linguistic Programming, teori ini membagi gaya belajar dalam 4 pola:

  1. Visual: preferensi belajar dengan melihat gambar, presentasi, video, dll
  2. Auditory: mendengar command, audiobook, kuliah, diskusi, dll
  3. Reading & Writing
  4. Kinesthetic: pengalaman fisikal, menyentuh, bergerak, meniru, aktif eksplorasi

Dalam case mengajarkan humam mungkin saya akan gunakan semua cara diatas, namun bahasan topik tulisan ini mencoba melihat sebenarnya bagaimanakah pola interaksi antara konsumen media indonesia dengan medium nya itu. Hints pertama adalah betapa media TV sedemikan kuat menjangkau audiens; Saya kutip dari Asiamediajournal:

“TV is a notable beneficiary in markets such as the Philippines, Malaysia, Indonesia and Vietnam. Key drivers include exposure to key events, such as elections and World Cup football, but also growing economic dynamism, fueled by domestic demand".

Uniknya gejala tingginya konsumsi media audiovisual terestrial ini juga terjadi pada media audio visual internet. Meski dibawah akses Situs Jejaring sosial, blog dan mesin pencari, akses ke youtube adalah nomer 5 terbesar tujuan akses internet dari Indonesia.
 
Saya menduga masyarakat Indonesia kebanyakan lebih Visual-Auditory ketimbang Readers bahkan kinestetik; penyebab pertama adalah institusi pendidikan yang membentuk kita untuk lebih melihat dan mendengar, ketimbang membaca, menulis, dan mengalami.
 
Kedua adalah faktor deraan media, memang belakangan buku dan dunia pustaka tumbuh demikian pesat, namun waktu yang kita habiskan untuk menonton TV umumnya jauh lebih banyak dari waktu yg dipakai untuk membaca. Masyarakat memberikan insentif kepada industry televisi berupa viewership yang begitu besar, Jangkaun televisi yang meluas, konten yang tumbuh dan makin melimpah ruah, alternatif channel yang banyak, bahkan peristiwa demi peristiwa membawa orang semakin merasa hidup ketika menyaksikan Televisi.
 
Hadirnya internet yang diawal lebih menyajikan konten berupa tulisan, belakangan bergeser menjadi media audio visual dengan pertumbuhan kecepatan prosesor dan menggelembungnya Bandwidth. Bahkan roadmap inovasi di Telekomunikasi justru berujung pada kemampuan teknologi mendekati positioning multimedia, dan konvergensi.
 
Perilaku belajar pun semakin bergerak ke ranah audio visual, di kelas sang murid harus berhadapan dengan guru yang menuliskan instruksi dan konten di whiteboard (atau papan tulis di era saya), belakangan beberapa sekolah dan kampus sudah melengkapi fasilitas belajar dengan power point over head projector, bahkam multi media theater.
 
Di internet sudah semakin banyak di upload kuliah kuliah online, lalu industri distance learning menjadi menjamur, lynda.com merupakan benchmark monumental dari pencapaian multimedia learning.
 
Kedepan kehadiran HSPA+, LTE, WiMAX, EVDO rev B ditambah teknologi Produksi konten, Model Bisnis dan Promosi Komersial Web 2.0 akan menjadi wahana yang kondusif sekaligus memanjakan masyarakat untuk mengkonsumsi media tak hanya sebagai wahana hiburan, namun sekaligus media pemberdaya.

No comments:

Post a Comment